Peter Hyballa adalah pelatih tim junior di Borussia Dortmund selama masa kepelatihan Jurgen Klopp dan orang yang secara harfiah menulis buku tentang pressing. Sekarang, dia ada di Eredivise dan masih menyebarkan ajaran sepak bola heavy metal ala Klopp tersebut. Adam Bate mewawancarainya lebih dalam lagi…
“Semua orang di Eropa negatif. Semua takut,” ungkap Peter Hyballa, membahas topik lain yang tak disangkat ketika membahas masa kepelatihannya di Namibia. “Di Afrika, mereka punya masalah sosial besar tetapi semua orang begitu positif dalam hidup mereka.
“Di NEC Nijmegen kami memiliki banyak masalah finansial tetapi setiap hari saya berusaha positif. Itu juga ide dari Jurgen Klopp. Dia selalu senang dan itu berbeda. Jika anda tidak arogan dan pemain, fans dan jurnalis tahu itu, saya pikir itu membantu anda mendapatkan poin lebih banyak.”
Ini bukan satu-satunya saat Hyballa membahas Klopp dan mungkin itu sudah disangka. Dua pria ini bersama-sama di Dortmund di mana Hyballa melatih tim junior, membantu membesarkan Mario Gotze di antara tim lainnya ketika BVB menjadi kekuatan yang menyamai Bayern Munich.
Tetapi lebih dari itu. Keduanya memiliki filosofi yang sama dan karisma yang muncul ketika melakukan sesuatu dengan berbeda. Klopp mendapatkan perspektifnya dengan bekerja di sebuah rumah sakit. Hyballa pergi ke Afrika. Klopp belajar ke universitas mempelajari ilmu olah raga. Hyballa telah bekerja sama menulis sejumlah buku.
Pernah jadi pelatih termuda di Jerman saat melatih di Alemannia Aachen, buku-buku tersebut membahas tentang pressing. Di tahun 2015, Hyballa bahkan diundang ke Hennes Weisweiler Academy, di mana pelatih-pelatih Jerman mendapatkan lisensi mereka, untuk memberikan sesi latihan terkait subjek pressing.
“Prinsip saya adalah prinsip Jerman,” ungkap Hyballa, sekarang 41 tahun, meski dia memiliki ibu Belanda dan berbicara bahasa Belanda dengan lancar. “Kami orang Jerman berlatih lebih banyak, kami berlatih lebih keras dan kami berlatih lebih kuat.” Dan sekarang dia membawa merek sepak bola heavy metalnya sendiri ke Eredivisi dengan klub Belanda NEC Nijmegen.
Situasi tidaklah mudah di Nijmegen. “Selama empat pertandingan kami tidak memiliki penjaga gawang,” ungkapnya. Statistik memperlihatkan NEC ada di urutan terbawah dalam hal penguasaan bola di liga. Tetapi, mereka ada di urutan tengah klasemen, memenangkan dua pertandingan beruntun setelah jeda musim dingin di Marbella.
“Jika liga ini berakhir sekarang, saya akan minum sampanye,” ungkap Hyballa sambil tertawa. “Saya punya filosofi permainan transisi ketika saya bekerja sama dengan Jurgen Klopp,” ungkapnya. “Semua tentang memenangkan bola kembali dalam empat atau lima detik. Saya tidak bisa memainkan gaya seperti Jurgen karena dia punya tim yang sangat baik di Liverpool jadi ada perbedaan.
“Kami bukanlah tim terbaik di Belanda jadi kami harus beranjak sedikit demi sedikit untuk melakukan pressing di lini tengah dan terkadang di belakang. Jika saya punya tim yang lebih baik kami akan terus menekan di lini pertama karena jika anda menekan bola tidaklah mudah bagi lawan untuk mendekati gawang anda.
“Itulah ide dari pressing total – yang sekarang terkadang disebut gegenpressing – sedikit dilahirkan di Dortmund, saya pikir. Sungguh luar biasa. Dengan Jurgen, yang anda lakukan melawan bola adalah rahasianya. Itu bisa dicapai dengan kebugaran dan semangat tim.”
Hyballa berusaha menciptakan kembali semangat itu di NEC di mana latar belakang mudanya – dia juga melatih pemain muda Bayer Leverkusen – jelas jadi keuntungan. “Saya punya banyak pemain berusia antara 18 dan 22 tahun jadi gaya latihannya sama, gaya periodenya sama,” ungkapnya.
Ketika Hyballa mengatakan gaya sepak bola organisasi ala Jose Mourinho juga bisa berhasil dan mengakui bahwa ide Pep Guardiola juga selalu bermain bagus, dia lebih menyukai pendekatan dinamis – seperti yang dibahas dalam bukunya.
“Buku baru tentang dribble karena di Jerman kami melakukan banyak diskusi tentang fakta bahwa kami memiliki banyak sekali pemain umpan karean kami telah menerima ide dari Barcelona,” ungkap Hyballa, “tetapi kami kehilangan pemain dribble.
“Situasi satu lawan satu sangat penting dan saya pikir itu membuat perbedaan. Dengan lini pertahanan terorganisir, jika anda memiliki pemain dribble yang bagus seperti Marco Reus atau Pierre-Emerick Aubameyang, Mario Gotze atau Lionel Messi, anda bisa memenangkan pertandingan dalam situasi satu lawan satu.
“Ada banyak sekali pelatih muda yang mengatakan umpan, umpan dan umpan adalah kunci sukses bukan dribble, dribble dan dribble. Benar bahwa bermain seperti itu ketika satu lawan satu itu berisiko karena anda bisa kehilangan bola.
“Tetapi jika anda pemain yang tidak takut melakukannya, anda butuh pelatih yang tidak takut untuk melakukannya juga. Pelatih bisa takut kalah dalam pertandingan dan kehilangan pekerjaan mereka tetapi saya pikir rahasia pelatih yang bagus adalah percaya diri.” Hyballa jelas tidak kekurangan percaya diri.
Memang, sangat menggoda memikirkan bahwa dia satu hari bisa jadi pelatih di Inggris. Dia menyaksikan tim asuhan David Wagner Huddersfield selama periode Natal.
NEC juga punya pemain muda yang disebut Taiwo Awoniyi dengan status pinjaman dari Liverpool – “pemain besar” – dan juga Hyballa terus berhubungan baik dengan Julian Ward, penanggung jawab pemain pinjaman.
Jadi, bisakah dia berhasil? Dalan jawabannya, pikirannya kembali ke Afrika di mana “sesi latihan bukanlah di atas kertas. Itu membentuk visi saya dalam seluruh hidup saya,” tutupnya.
“Mereka tidak memikirkan lima tahun ke depan tetapi satu hari ke depan. Jadi saya hidup di masa ini. Jika klub Liga Primer datang maka baiklah. Tetapi jika mereka tidak datang juga tidak apa-apa. Anda harus terus hidup. Katakan ya kepada hidup anda.”