Format baru Piala Dunia FIFA tidak masuk akal

Sangat mudah untuk menolak perubahan, apalagi dalam sepak bola. Sebagian karena kita sering kali terlalu sentimental terhadap olah raga yang telah memenangkan hati kita; kita dibutakan oleh ketidaksempurnaan karena itulah sifat dasar kita.

Terkadang, kita harus dipaksa untuk menanyakan diri kita apakah ini perubahan khusus yang kita takuti atau ide itu sendiri. Dan, sama halnya, terkadang kita harus menjawab kembali, jika FIFA yang melakukan perubahan, ketakutan kita jelas dibenarkan. Keputusan untuk memperluas Piala Dunia dengan meliputi 48 tim dari 2026 jelas salah satu saat terberat.

Dampak dari UEFA yang memperluas kejuaraan Euro tahun lalu juga harusnya dianggap sebagai peringatan oleh badan penyelenggara sepak bola dunia ini, tetapi jelas tidak heran bahwa keputusan ini justru disambut dengan cara yang sebaliknya. Sudah pasti, fase kualifikasi memberikan keuntungan yang tak disangka bagi tim yang sebelumnya jarang masuk ke final, misalnya Islandia dan Wales, tetapi turnamen itu sendiri semakin menurun.

Butuh 36 pertandingan di fase grup untuk bisa mengurangi 24 tim menjadi 16, dengan salah satu yang lolos di antara mereka jadi pemenang akhir yaitu Portugal, yang tidak perlu memenangkan satu pun laga di turnamen itu untuk bisa jadi pemenang. Di sisi sebaliknya, perluasan format ini memberikan penambahan profit. Dan dalam pilihan yang jelas antara kualitas olah raga dan profit besar, apakah selalu ada keraguan di manakah kesetiaan FIFA berada?

Bukan berarti perluasan itu jadi konsep yang salah. Di tahun 1998, perluasan Piala Dunia dari 24 tim menjadi 32 tim memberikan peningkatakan kesenangan yang luar biasa seperti saat menambahkan 16 tim jadi 24 di ajang Euro 2016 yang justru mengurangi kesenangannya. Bukan tentang seberapa besaer turnamen tersebut, tetapi bagaimana anda menjalaninya. Bukan melulu tentang format.

Format baru Piala Dunia ini akan menampilkan 16 grup yang terdiri dari tiga tim dengan dua tim lolos ke fase penyisihan, berarti bahwa kita akan menjalani 48 pertandingan yang melelahkan untuk menyisihkan 16 tim saja. Itu artinya banyak sekali pertandingan dengan risiko rendah, di mana dua hasil imbang 0-0 saja sudah cukup untuk membawa tim lolos ke babak berikutnya. Dengan kata lain, sedikit usaha saja bisa membuat sukses besaer.

FIFA telah meningkatkan kemungkinan untuk menjalani adu penalti di setiap akhir pertandingan fase grup yang menuai hasil imbang, sama seperti Checkatrade Trophy, tetapi ketika anda mulai mempertimbangkan ide seperti itu, anda mulai bertanya-tanya, apakah fase grup itu sendiri perlu dilakukan?

Hasilnya haruslah berbeda dan tidak ada untungnya saat bermain imbang, mengapa tidak langsung memulai kompetisi di fase penyisihan saja? Apakah mereka sudah meluangkan banyak waktu untuk mempertimbangkan pilihan lain di fase grup, atau apakah kita langsung menyetujui pilihan yang lebih disukai oleh presiden FIFA Gianni Infantino ini?

Sungguh memalukan, karena fase penyisihan dengan 32 tim jelas akan jadi ide yang sangat bagus. Itu artinya kita bergerak dari 15 ke 31 pertandingan hidup mati di mana tidak ada jaminan keselamatan bagi tim elit seperti Jerman dan juga tim yang terbiasa gagal di turnamen, Inggris. Satu-satunya masalah bagi mereka yang menyaksikan adalah, setelah 48 laga kualifikasi yang penuh hati-hati – satu laga ke laga lainnya – anda bisa jadi sangat lelah setelahnya sehingga butuh istirahat.

Sedikit itu lebih baik dalam sepak bola; itulah alasannya kita memiliki final hidup mati ketimbang rangkaian lima pertandingan untuk menentukan satu pemenang turnamen. Kesenangan itu didapatkan dari risiko dan ada lebih sedikit tim yang lolos dari fase grup di mana kualitas tertutupi dan bahkan lebih banyak margin kesalahan.

Itulah alasan mengapa sistem saat ini berfungsi dengan baik. Seperti yang telah didapati Inggris tahun 2014, di fase grup di mana hanya ada dua dari empat tim yang lolos, anda harus langsung tancap gas sejak awal. Kalah di laga pertama anda dan anda memasuki laga kedua menyadari bahwa kekalahan lainnya jelas akan memulangkan anda.

Piala Dunia terakhir juga memiliki 48 laga di fase grup, tetpai itu artinya 32 negara dikurangi menjadi 16. Panjang, tetapi itu memberikan efek yang baik di atas lapangan. Olah raga yang masuk akal. Tetapi yang ini tidak.

Perluasan Piala Dunia ini akan menghasilkan lebih banyak uang dan teman baru yang berpengaruh. Jika Infantino, yang kampanye presidennya meliputi janji untuk meningkatkan ukuran Piala Dunia, bisa menawarkan kesempatan kepada lebih banyak negara untuk lolos, dia jelas akan terperangkap dalam dukungan politik di seluruh konfederasi dunia.

Lebih sedikit negara yang berhasil ketimbang negara yang tidak berhasi. Dengan batasan tiga periode yang kini diterapkan dalam kandidat presiden FIFA, Infantino bisa melihat Piala Dunia 2026 dan menggunakan turnamen tersebut untuk mengukuhkan warisannya.

FIFA ada untuk seluruh dunia, bukan hanya segelintir orang saja. Dan menghasilkan uang jelas bukanlah hal buruk, mengingat hal baik yang bisa diberikannya ketika didistribusikan dengan baik. Tetapi ini FIFA, sehingga skeptisme jadi hal yang patut dipahami.

Sampai saat ini, ingat, FIFA jadi salah satu organisasi yang paling menggiurkan sampai-sampai pejabatnya saja menyewakan penthouse untuk peliharaan kucing-kucingnya. Catatan FIFA terkait distribusi kekayaannya jadi impian semua orang.

Dan begitulah FIFA akan semakin kaya lagi dan posisi Infantino akan semakin aman untuk beberapa tahun ke depan. Negara-negara kecil tahu juga, bahwa kini mereka punya peluang masuk ke kancah dunia. Dan penonton, di stadion atau pun di sofa, akan menikmati babak penyisihan yang makin menegangkan lebih banyak lagi dari sebelumnya.

Tetapi fase grup tersebut, jangan biarkan siapa pun berusaha meyakinkan anda bahwa anda akan meraih hasil positif dari fase grup tersebut. Itulah harga yang harus kita bayar, tetapi bukan untuk keuntungan global, melain untuk keuntungan FIFA sendiri.

Copyrights © 2019. All rights reserved.